Rabu, 30 Januari 2008

KRITIK PADA PAK HARTO DAN PENDUKUNGNYA

Rezim Jenderal Besar (Purn) H.M. Soharto (Pak Harto) sudah berakhir sejak Mei 1998, tetapi pamornya tetap saja tidak lekang, sampai diakhir hayatnya. Televisi rutin menayangkan laporan terkini sejak Pak Harto dirawat di Rumah Sakit Pertamina – 24 hari dirawat sampai kemudian meninggal dunia pada pukul 13.10 WIB tanggal 27 Januari 2008.


Hari-hari meninggalnya menjadi top news di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, Eropa, Amerika dan Asia lainya breaking news televisi dan media cetak di dominasi oleh berita meninggalnya Pak Harto. Acara seluruh televisi di Indonesia sejak meninggal pada 27 Januari hingga dikubur pada 28 Januari diisi seputar meninggalnya dan biografinya selama 2 hari berturut-turut.

Disetiap jalan yang dilalui mobil pembawa jenajahnya dikerumini orang, bahkan acara pemakaman terlambat karena setiap orang ingin menyentuh mobil yang membawanya ke tempat peristrahatan terakhir di kompleks pemakaman keluarga di Astana Giribangun.

Itulah Soeharto, mantan penguasa orde baru yang bertahta selama 32 tahun, dengan jasa besar yang melekat padanya, seperti Bapak Pembangunan, tokoh yang paling disegani di ASEAN, mendapat penghargaan dari FAO dengan Swa Sembada berasnya. tokoh Supersemar, tokoh Serangan Umum di Jogjakarta, tokoh dibalik Pembebasan Irian Barat, Jenderal Besar.

Satu hari penuh pujian selalu datang kepada Pak Harto tidak hentinya, terutama dari mantan-mantan menterinya, dan masyarakat yang bernostalgia betapa hebatnya bangsa ini ketika dipimpin Pak Harto. Semua orang seolah berebut hadir yang pertama kali di Cendana menunggui jenajah Pak Harto, juga pada saat terbaring di Rumah Sakit, tokoh-tokoh bangsa ini berebutan membesuknya.

Bagi saya itu tidak masalah, jasa pak Harto banyak, seperti sudah disebutkan di atas tidak dapat dipungkiri, bahkan bagi saya dia layak jadi Pahlawan Perjuangan Bangsa. Tetapi juga harus diingat bahwa Pak Harto juga adalah tokoh yang paling bermasalah di dunia ini. Bapak pembangunan yang dialamatkan kepadanya juga tidak salah, tetapi harus diingat juga bahwa ketika Suharto turun tahta total utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 150 miliar, kalau dirata-ratakan itu sama dengan US$ 5 miliar setiap tahun dalam 30 tahun masa efektif pemerintahanya. Jadi pembangunan sepanjang 30 tahun tidak lepas dari hutang luar negeri yang turun temurun hingga anak cucu kita harus ikut menanggungnya. Pertumbuhan ekonomi semata-mata hanya buble economy bukan karena peningkatan kapasitas produksi nasional, tetapi pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi.

Stabilitas keamanan selama 32 tahun juga harus dibayar mahal dengan penghilangan nyawa, penembakan misterius (petrus), pemberangusan pers, penjeblosan lawan politik ke penjara , pencaplokan Timor- Timor, operasi intelijen di Aceh dan Irian Jaya yang memakan banyak korban. Bisa dikatakan bahwa stabilitas itu semu (Ersatz), baik karena takut disebut subversi dan kemudian dijebloskan ke penjara atau karena tindakan represi yang dilakukan oleh pihak keamanan dan preman-preman yang didukung oleh kekuasaan.

Korupsi, Kolusi, Nepotisme juga merebak di masa pemerintahan Soeharto hanya tidak bisa disentuh karena kekuasaan ekonmi, pers, hukum bisa dikendalikan. Sistem ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, sehingga susah membuktikan adanya korupsi. Aktivitas ekonomi dikelola sebagian besar oleh kroni-kroni pak Harto. Grup-grup usaha yang besar selalu ada kaitannya dengan pak Harto dan keluarganya. Aditnya, Apac – Bhakti Karya, Arha, Arseto, Bimantara, Citra Agratama, Datam, Dwi Golden Graha, Dwi Investindo, Era Persada, Hanurata, Humpuss, Jababeka, Kalimanis, Maharani, Mercu Buana, Salim, Subentra, Swabara, Tirtamas Majutama, Tunas Wiraga, Wijaya Kusama Jaya, grup-grup ini baik secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan Pak Harto dan keluarganya.

Sistem Politik dibiarkan tidak berkembang selama 32 tahun, setiap Sidang Umum MPR sudah pasti siapa Presiden, lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPA, MA, BPK hanya simbol belaka, Presiden adalah penguasa tunggal, hal ini bisa dilihat dari calon anggota lembaga tinggi Negara dan tertinggi Negara bisa dicoret oleh Presiden. Hanya ada 2 partai sedangankan Golkar tidak boleh disebut partai, ia adalah golongan karya yang sudah dipastikan kemenagannya setiap pemilu. Pegawai negeri yang membangkang tidak memilih golkar akan dituduh subversi. Pers salah satu pilar demokrasi diatur, yang tidak bisa diatur diberangus sehingga berita yang muncul selalu berita baik. Tidak boleh ada demonstrasi.

Krisis ekonomi yang terjadi hingga saat ini tidak lepas dari warisan rezim Pak Harto, sehingga sekalipun sudah merdeka 63 tahun baru bisa belajar demokrasi 10 tahun, baru bisa menikmati kebebasan pers, baru bisa mengemukakan pendapat secara bebas. Bangsa ini kehilangan pijakan, dan seolah-olah harus belajar dari nol berdemokrasi, membangun perekonomian, menciptakan stabilitas keamanan, HAM. Ini semua tidak lepas dari warisan rezim Pak Harto.

Kalaupun sampai saat ini, perekonomian kita belum bisa diandalkan, pemilu berdarah-darah, olahraga kita terpuruk, citra bangsa semakin menurun tetapi sistem demokrasi kita sedang mengarah ke perbaikan dan sehingga diharapkan akan melahirkan landasan yang kuat. Kebebesan pers kita sudah berjalan mendekati matang, sistem ekonomi menyebar, desentralisasi sudah membuahkan hasil, sekalipun disana-sini masih melahirkan kontroversi. Presiden hanya boleh menjabat dua periode sehingga kelak tidak ada lagi kultus-kultusan. Kalau sistem sekarang dijaga dan disempurnakan kekurangannya secara alami, 10 atau 20 tahun kedepan bangsa ini bisa menjadi bangsa besar.

Tetapi warisan pak Harto, seperti Posyandu, Swa Sembada, Keluarga Berencana, pertumbuhan ekonomi yang stabil, rancangan pembangunan menengah - panjang layak diteruskan. Jadi sekalipun Pak Harto orang besar dan mempunyai jasa besar atas keberadaan negeri ini, tetapi ia juga tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang menyengsarakan bangsa ini lewat kebijakan-kebijakannya.

Selamat jalan pak Harto, semoga bangsa ini mau bersabar untuk belajar memperbaiki dirinya tidak hanya bernostalgia dengan rezim Soeharto yang dianggap lebih makmur dari saat ini tetapi landasannya rapuh, stabilitasnya semu (ersatz)!!.

Jumat, 25 Januari 2008

MENGUKUR PELUANG TRI TAMTOMO – BENNY PASARIBU

Pendaftaran calon Gubernur Sumatera Utara periode 2008-2013 ditutup pada tanggal 24 Januari dengan lima pasang calon, antara lain: HM Ali Umri/H. Maratua Simanjuntak (Golkar), RE Siahaan/Suherdi (PDS,PKB,PIB, PBSD, PPD, PNBK, Partai Pelopor dan PNI Marheinisme), H.Syamsul Arifin, SE/Gatot Pudjo Nugroho (PPP, PKS, PBB, Partai Partior Pancasila, PKPB, PKPI, PSI, PNI Marhaenisme, PDK, PPDI dan PNUI), H.Abdul Wahab Dalimunthe/H.Raden Muhammad Syafi'i (Partai Demokrat, PAN dan PBR) dan pasangan Mayjen TNI (Purn) Tri Tamtomo/Benny Pasaribu (PDIP).


Yang menarik tentu adalah pasangan calon dari PDIP, salah satunya partai yang mencalonkan militer. Sumatera utara tercatat dalam 20 tahun terakhir selalu dipimpin oleh seorang Gubernur yang berlatar belakang militer. Terakhir adalah Mayjen Tengku Rizal Nurdin yang meninggal dunia dalam musibah jatuhnya pesawat Mandala Airlines beberapa tahun yang lalu. Ia kemudian digantikan oleh Rudolf Pardede, yang juga ketua PDIP Sumut.

PDIP masih beranggapan bahwa Sumut masih butuh figure militer karena Sumatera Utara adalah salah satu barometer politik nasional. Ini terlihat dari tiga militer aktif yang sempat meramaikan calon dari PDIP antara lain, Wakasad Letjend Cornel Simbolon, dan deputi Menkopolkam Chairuman Harahap. Tetapi calon sudah ditetapkan dan yang terpilih adalah Mayjen Tri Tamtomo kakak kandung dari Bambang Hendarso Danuri (Kabareskrim) yang juga sempat menjadi Kapaldasu 2005-2006. Tri Tamtomo hampir empat tahun menjabat Pangdam Bukit Barisan dan media sering membuat marga dibelakang namanya “Panggabean”, yang tentunya ini berkaitan dengan The God Fathernya Sumatera Utara Olo Panggabean.

Tri Tamtomo juga sering dikaitkan ikut berperan dalam peristiwa penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996. Ini sama dengan kasus Sutiyoso yang kemudian justru didukung oleh PDIP dalam pemilihan Gubernur DKI. Bagi PDIP adagio ‘tidak ada lawan kekal’ barangkali masih berlaku. PDIP pusat memang punya perhitungan matang siapa yang layak dicalonkan. Mengapa Cornel Simbolon terpental dari pencalonan PDIP, bisa diduga karena Cornel Simbolon dekat dengan SBY. Padahal Cornel Simbolon yang asli putra daerah tentu jauh lebih berpeluang untuk menang dibanding Tri Tamtomo yang bukan putra asli daerah Sumut. Sedangkan Chairuman Harahap, kurang populer dimata masyarakat Medan.

Kalau dilihat dari komposisi kelima pasangan di atas, pasangan Tri & Benny adalah pasangan terkuat yang akan memenangkan pertarungan Pilgub pada April mendatang dengan asumsi bahwa semua pemilih PDIP memilihnya. Hal ini bisa dilihat pada pemilihan Presiden tahun 2004 yang lalu pasangan Mega – Hasyim menang di Sumut dengan perolehan suara 39,9% dari total pemilih 7,9 juta orang. Hal ini tentu hanya analisis sederhana saja.

Sedangkan kalau dilihat dari komposisi etnis Sumut, terdiri dari Jawa 33,4% Toba – Karo 25,62%, Mandailing 11,27%, Nias 6,36%, Melayu 5,86%, China 2,71%, Minang 2,66%, Simalungun 2,04%, Aceh 0,97%, dan Pakpak 0,73%. Sedangkan komposisi agama Islam 65,45%, Protestan 31,40%, Katolik 4,78%, Budha 2,82%, dan Hindu 0,9% (dikutip dari Kennorton@bacatulis). Dengan komposisi seperti ini pasangan Tri dan Benny bisa dianggap moderat. Tri Tamtomo adalah orang Jawa beragama Islam, Benny adalah orang Batak beragama Kristen. Tetapi bisa digerogoti oleh pasangan R.E. Siahaan/Suherdi, Siahaan adalah walikota Pematang Siantar dan Suherdi adalah ketua Pujakesuma Sumatera Utara. Dengan komposisi penduduk Jawa 33.4% posisi Herdi sangat strategis merebut pemilih suku Jawa ini.

Sebagai mantan Pangdam I/BB yang bertugas hampir 4 tahun, Tri Tamtomo tahu persis bagaimana mengamankan Sumut, ini adalah kelebihan dia, tetapi dalam kampanye nanti dia akan diserang oleh lawan-lawanya bahwa dia bukan putra daerah Sumut sedangan keempat calon lain asli putra daerah. Dalam sebuah kesempatan Tri pernah mengatakan bahwa Sumut mempunyai 5 primadona yang belum dikelola dengan baik. “Nanti kelima primadona ini kita usahakan mengelolanya dengan benar sehingga berhasil guna. Apa kelima primadona itu?”, Tri Tamtomo akan menyampaikannya dalam penyampaian Visi dan Misinya.

Salah satu isu yang sangat krusial saat ini di Sumut adalah ide Pemekaran Sumut menjadi 2 Provinsi, tentu ini sangat sensitif nantinnya bagi para calon, apakah mendukung pemekaran atau tidak. Ide pembentukan Provinsi Tapanuli sangat intensif diperbincangkan saat ini dan bisa menjadi energi positif atau negatif bagi setiap calon, terutama di daerah pemilihan Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Selatan. Ini ibarat buah simalakama, kalau mendukung pemekaran seorang calon bisa menang tetapi kekuasaanya terpangkas, kalau tidak mendukung siap-siap aja kalah.


Faktor Rudolf juga bisa menentukan menang tidaknya pasangan Tri Tamtomo – Benny keluarga Pardede yang religius punya pengaruh besar di perkotaan terutama mereka yang Kristen Karismatik, dan posisinya yang masih ketua PDIP Sumut. Terpentalnya Rudolf dari pencalonan memang sudah bisa diduga sebelumnya, karena bagi PDIP kasus Izajah palsu akan menyulitkan bagi PDIP dalam kampaye dan akan buang energi. Tetapi Rudolf juga punya pengaruh besar di Medan. Kalau Tri – Benny tidak merangkul Rudolf bisa saja suara pendukungnya beralih ke R.E Siahaan/Suherdi.


Faktor Megawati adalah faktor penentu bagi pasangan Tri – Benny, yang ingin menunjukkan supremasinya sebagai calon Presiden 2009. Kemenangan Tri Tamtomo – Benny sangat penting bagi Megawati sebagai modal awal menuju Pilpres 2009. Pilgub ini akan menjadi safari politik Megawati di Sumatera sekaligus kampaye pendahuluan.


Dari sisi Wakil, Benny adalah Doktor ekonomi, yang juga mantan ketua Komisi IX DPR pada masa pemerintahan Megawati, sempat santer isu bahwa dia akan diplot sebagai menteri Keuangan ketika Megawati menjadi Presiden menggantikan Gusdur. Dia juga aktif di Dekopin, pernah juga menjadi staff ahli Menneg BUMN. Jadi dari sisi pengalaman, Benny adalah pakar ekonomi yang sangat penting dalam rangka membangun perekonomian Sumatera Utara kedepan. Ia bisa mengambil hati para kalangan menengah dan berpendidikan di Medan dengan konsep ekonominya. Tetapi dia tidak populer dikalangan masyarakat bawah karena dia tidak berakar disana. Sejak kecil sudah merantau ke Jawa dan banyak menghabiskan waktunya di Jawa dan Luar Negeri.

Dibandingkan dengan pasangan lain, pasangan Tri Tamtomo lebih berkualitas, kalau dilihat dari faktor keamanan, dan konsep ekonomi yang bisa lebih gampang terealisasi di tangan kedua pasangan ini. Tergantung bagaimana mereka mengkomunikasikannya ke publik, terutama yang langsung menyentuh dengan urusan perut masyarakat banyak. Kalau hanya konsep saja tentu ini tidak akan diterima oleh masyarakat. Pengurangan penggangguran, pendidikan gratis, layanan kesehatan gratis, keamanan akan menjadi “komoditi” kampanye yang laku dan bisa memenangankan setiap calon.


Jumat, 18 Januari 2008

Kantor Gue di Gedung Pencakar Langit : Mindset VS Black Swan

Boss gue kecewa ama gue, dia kucek-kucek laporan gue. Tapi bos gue cantik jadi, semarah apapun die tetap senang liat dia. Bahkan makin marah dia makin gemas gua liatnya. Tapi hanya liat loh … nga sampai macam-macam deh. Apalagi sampai jatuh cinta. Soalnya adrenalin gue dikit – jadi nga bisa jatuh cinta ama orang gede.

By the way Sabtu kemarin gue baca buku John Naisbith sang “peramal” yang hebat itu. Bukunya Megatrend sudah terjual 9 juta kopi, dan muncullah Megatrend 2000 juga laku bak kacang goreng. Gue belum pernah baca kedua buku di atas sich.. Cuma baca buku yang keluaran terbaru. Di Gramedia masih edisi Bahasa Inggris dengan judul “ Mindset”.

Pandangan John Naisbith sudah lama menjadi benchmark, para pelaku bisnis, pakar managemen, politikus, pengusaha dan para ilmuwan, karena idenya sangat uptodate dalam “meramal” perkembangan dunia selain itu idenya sederhana . Inti pandangannya adalah Masa yang akan datang melekat di masa kini. Artinya peristiwa di masa yang akan datang berasal dari kejadian, rencana atau bentukan saat ini. Jadi masa depan lebih pada proses yang dimulai saat ini dan hasilnya adalah apa yang dilakukan saat ini.

Jadi seperti apa lanskap bisnis, politik, keamanan, sosial budaya dimasa yang datang terletak pada apa yang sedang dikembangkan, dijalankan, direncanakan, dicitacitakan pada saat ini. Inilah inti yang saya baca dari bukunya John Naisbith yang bertolak belakang dengan apa yang ditulis oleh Nassim Nicholas Taleb yang mengatakan “Bahwa satu angsa hitam bisa menggugurkan teori yang beribu-ribu tahun melakat dibenak manusia bahwa semua angsa itu putih”. Buku Black Swan: The Impact of The Highly Improbable adalah teori yang mengatakan bahwa di dunia ini ada hukum acak dan ketidak pastian yang melahirkan manusia yang acak, perusahaan acak, politisi acak, penjahat acak, aktris acak yang dia sebut sebagai Black Swan.

Selengkapnya anda baca aja deh.. di Gramedia masih ada tuh, gue nga punya budget untuk beli kedua buku tersebut, so gue baca gratisan aja di Plaza Semanggi jadi cuma baca kulitnya aja, tapi menurut gue buku ini bagus bagi anda yang ingin menambah pengetahuan.

Nah kembali kepada kantor gue tadi (perusahaan tempat gue kerja), ada satu orang yang punya role besar di kantor gue, yang di atas sudah saya sebut tadi. Seorang Gadis muda, high intellect, salah satu dari korban “black swan” yang menjadikan dia menjadi bagian dari randomness yang membedakan saya dengan dia. He got a chance jump to good university, good lecturers, good health, good personality, good wealth as heritage of her father, high quality network, and then she became as today is. She is my boss, even our age is different, she is younger than me. Does this story is manifest of what Nassim Nicholas Taleb as law of randomness?.

John Naisbith tentu punya reason untuk mementahkan teori Black Swan, jika bos saya tidak bisa merencanakan, tidak punya visi, tidak punya konsep, tidak punya leadership maka the future is a hell to her. But disini letak persamaan antara pendapat John Naisbith dan Nassim akan lahir Black Swan baru menggantikan Black Swan lama tentu memegang apa yang disebut John Naisbith “bentuklah masa depan hari ini dan anda akan menjadi black swan”. Selamat membaca, kedua buku di atas and I Still Love My Boss.

Jumat, 11 Januari 2008

‘PERANG” IKLAN BINTANGIN VS TOLAK ANGIN

Pernah nonton TV ?, kalau pernah berarti anda pernah juga melihat dan mendengar iklan Produk Jamu Tolak Angin bermerek BINTANGIN produksi Bintang Toedjoe – embahnya Extra Joss. Sipenjaga toko berbincang dengan seorang pembeli yang sedikit kelihatan “bego” sipenjaga toko mengintimidasinya dengan pertanyaan yang aneh-aneh yang tidak bisa dijawabnya. Akhirnya muncul tag “minum tolak angin aja kok mesti pintar”, “ BINTANGIN semua bisa minum”.

Bagi saya orang awam tentu dengan sangat akurat akan mengasosiasikan iklan ini sebagai perang terhadap Jamu Tolak Angin produksi Sido Muncul. Dengan format BINTANGIN yang juga masuk disegment jamu tolak angin sachet tentu kehadiran Bintangin adalah perang terbuka dengan Sido Muncul, atau hampir sama dengan Kasus Perang Mie Sedaap VS Indomie atau Indofood dengan Wings.

Sebagai leader dipasar, Sido Muncul adalah pelopor jamu tolak angin sachet yang menikmati pasar jamu tolak angin nyaris tanpa competitor. Mengapa Bintangin Muncul, juga gampang dijawab, karena Sido Muncul meluncurkan produk Kuku Bima Ener-G yang asosiasinya jelas menggerogoti pangsa pasar Extra Joss, jadi bisa dikatakan lahir-nya BINTANGIN adalah “dendam” Bintang Toedjoe sebagai ganjaran masuknya Sido Muncul ke pasar Minuman Energi yang sudah susah payah dibangun oleh Bintang Toedjoe.

Tapi bagi saya dengan tag “Minum Jamu Tolak Angin Kok Mesti Pintar” adalah pilihan strategi yang kurang “pintar” dari tim pemasaran Bintang Toedjoe – bagaimanapun tidak akan ada yang bisa menandingi Tag Sido Muncul “Orang Pintar Minum Tolak Angin”, sama seperti Tag Kopiko “Gantinya ngopi” adalah tag yang tidak bisa dilawan kebenaranya di benak konsumen. Semua orang ingin pintar itu adalah premis yang tidak terbantahkan, sama seperti semua orang ingin kaya.

Artinya kalaupun tak bisa pintar, setidaknya dengan minum Tolak Angin ya Sudah Pintar. Kalau kemudian Bintangin membuat Tag “Minum Tolak Angin Kok Mesti Pintar” adalah antitesis dari keinginan konsumen dari strata manapun ia yang pada dasarnya punya hasrat untuk pintar. Bintangin Mesti Kreatif Lagi bikin Tag kalau tidak Bintangin tidak akan bisa bertarung dengan “Tolak Angin” “raksasa” di kelasnya.

Senin, 07 Januari 2008

DID GOD CREATE MEASURE ?

Dunia mengukur dengan yang kelihatan dan satuan yang dipakai untuk mengukur adalah materi yang dimilikinya. Emas dinilai dengan karat, air diukur dengan liter dan lain-lain. Hidup diukur dengan berbagai kadar. Tergantung siapa yang membuat pengukuran dan untuk apa?

Lama tidak bertemu bisa diukur dengan kata rindu, bisa juga diukur dengan pelukan, tetesan air mata dan bermacam ukuran yang melimpah di bumi kita ini. Hidup ini penuh dengan ukuran, tergantung siapa dan untuk apa.

Coba tengok hari ini, aku bertanya kepada temanku berapa usia ibunya yang meninggal hari ini pada jam 11 WIB kurang atau lebih. Ia menjawab 79 tahun, lalu aku berkata: “oh dia sudah diberkati Tuhan”. Tidak ada jawaban kecuali rasa menyesal bahwa selama ini, ia hanya sepintas bertanya kalau sang mami sakit, tidak ada perhatian mendalam, kecuali nonton bareng ketika pulang dari kerja larut malam, jam 8 atau 9 kadang bisa jam 10. Inilah penyesalan ketika orang yang setiap hari kita lihat, kita ajak bicara, kita bentak, atau kita cuekin, tiba-tiba pergi untuk selamanya. Memang setiap orang dewasa punya dunia sendiri tidak seperti ketika saat anak-anak, dunia kita adalah kedua orang tua. Ketika mereka meninggal muda, maka dunia kita seolah sudah hancur.

Dengan 49 tahun bersama, termasuk 17 tahun disayang-sayang mami, dijaga agar tidak jatuh, dibimbing agar tidak salah arah, diberi makan agar tidak kelaparan dan sakit-sakitan. Semua berjalan tanpa bayaran, tidak seperti kita memesan satu porsi makanan di restoran, semua disiapkan pelayan, termasuk lap tangan dan membersihkan piring ketika kita selesai makan. Tetapi diakhir hidangan datang selembar tagihan atas apa yang sudah kita lakukan. Tidak ada yang gratis kecuali hati dan perhatian Ibu. Ada pepatah mengatakan: Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Masih belum tepat menggambarkan keadaan sebenarnya dari kasih Ibu. Ia abadi, tidak berubah, juga tanpa pamrih.

Salah satu penyesalan temanku dan kakak temanku yang serumah dengan ibunya adalah mereka merasa bersalah karena selama ini tidak tahu apa sakit sang mami yang sebenarnya sampai masuk rumah sakit dan kemudian mendadak meninggal. Ada perasaan bersalah yang tidak terukur, ukuran adalah penyesalan, air mata dan kelelahan karena menyesal.

Kematian adalah tutup buku, Tidak ada kata menyesal, mati sudah tidak mungkin hidup lagi, kecuali Yesus datang dan membangkitkanya lagi itu cerita lain dan sangat jarang terjadi. Apakah ukuran agar kepergian sang mami rela dilepas? Tidak cukupkah dengan memijat-mijat tangan sang mami ketika duduk bareng sambil bercanda dan menonton tv saat tubuh sudah lelah beraktifitas sepanjang hari? Atau tidak cukupkah pengorbanan seorang putri ditengah malam pergi mencari obat tanpa rasa takut dan kuatir? Apakah harus menyesal juga karena beliua meninggal dengan penyakit yang tidak diketahui orang kedua tadi?. Padahal usianya sudah mencapai 79 tahun melampau angka harapan hidup di Indonesia yang hanya 65 tahun.

Kataku kematian sekalipun di usia yang sudah renta selalu mendatangkan kesedihan, adikku bilang “butuh waktu untuk merelakan kepergian” seseorang yang kita cintai walaupun kematian adalah hal biasa bukan hal yang luar biasa .

Kelak disuatu hari adalah waktuku, waktu orang lain, tidak tahu kualitas apa yang terdapat dalam setiap kematian, adakah orang yang akan menangisi, menyesali atau mengucap syukur. Tapi kematian akan selalu datang tidak pernah terlewat dari seorangpun yang bernama mahluk hidup. Ia mati adalah wajib dan hidup juga wajib, maka ketika ada ketidakpuasan atas perilaku dan tindakan kita kepada orang tua yang melahirkan kita sehingga ketika ia pergi selalu ada rasa bersalah, sekali lagi aku katakan Kasih Ibu tidak pernah menuntut balas, bahkan ketika akan matipun ia malah mengkuatirkan hidup anak-anaknya agar hidup lebih baik.

Inilah ukuran hidup, “mati”. Selamat jalan kepada sang mami temanku yang beberapa kali menyapaku dengan lembut, terseyum tulus dan menawarkan makanan dengan ramah. Satu hal yang masih tergambar diotakku sampai saat ini ketika beliau tersenyum menyodorkan tangan renta tua itu menghapiri tanganku ketika pertama kali bertemu di suatu sore 3 atau 2 tahun silam, tidak kuingat dengan pasti. Kemudian bertemu beberapa kali tetap dengan kualitas keramahan dan senyum yang tak berubah.

Semoga Ibu naik Kesurga dan menatap dari sana dengan tertawa lebar karena anak-anak dan cucu yang Ibu tinggalkan memperoleh kebahagian di kemudian hari.