Jumat, 26 September 2008

LASKAR PELANGI: DEMOKRASI ALA BU MUSLIMAH

Hari ini saya sempatkan nonton Laskar Pelangi. Adaptasi dari buku Laskar Pelangi karangan Andreas Hirata alias IKAL dalam film. Buku heboh ini sudah sering saya dengar sejak muncul di acara Kick Andy yang kebetulan salah satu acara paporit saya. Mau tidak mau saya tahu apa judul bukunya dan tahu sedikit mengenai apa isi ceritanya serta siapa pengarangnya.


Tetapi saya tidak pernah berniat membeli buku tersebut karena saya sebagai orang desa langsung bisa menebak sebenarnya apa isi novel ini dari awal hingga akhir hanya dengan mendengar ucapan sipenulis dan saksi hidup yang diwawancarai, artinya buku ini terlalu nyata dan dialami mayoritas orang Indonesia sehingga bukan cerita baru lagi tetapi benar-benar adalah kisah sehari-hari sebagian besar penduduk Indonesia.


Beberapa minggu yang lalu, di Kick Andy muncul lagi gema Laskar Pelangi tetapi kali ini bukan buku lagi yang dibahas tetapi sudah bermetamorfose menjadi sebuah film yang digarap oleh sutradara papan Atas Riri Reza dan Produser Mira Lesmana ditambah lagi dengan sound effectnya diisi juga oleh band papan atas, Nidji. Jadi lengkaplah sudah cerita yang bersetting kemiskinan dan pelosok dipoles menjadi film yang dibintangi oleh bintang papan atas. Sehingga kualitas filmnya menjadi tidak meragukan lagi begitulah dugaan saya, ketika bintang-bintang pendukungnya dimunculkan satu persatu di Kick Andy. Tapi saya juga yakin bahwa itu adalah iklan agar film ini bisa meledak, setidaknya mengimbangi filam Ayat-ayat Cinta besutan Hanung Bramantyo.


Setting film ini dimulai tahun 1974 di Bangka Belitung, SD Muhammadiyah adalah tempat film ini dimulai, dengan tiga orang guru, dan 10 orang siswa. Kepalanya Pak Cik…siapa ? lupa namanya..habis tidak baca novelnya sih.. ada Bakrie dan Bu Muslimah. Sedari awal sekolah ini seperti tidak diinginkan karena tidak mendukung lagi, baik dari gedung maupun minat anak-anak untuk sekolah disitu. Tetapi ditempat yang tidak jauh dari sekolah tersebut ada SD PN Timah yang mencolok perbedaanya.


Salah satu yang menarik dari film ini adalah cara Bu Muslimah membentuk tim Karnaval untuk acara HUT RI yang jatuh pada 17 Agustus. Bu Muslimah memilih Mahar yang selalu menggendong Radio kemana-mana dan kemudian menyerahkan tanggungjawab padanya untuk membuat acara apa yang akan ditampilkan pada acara karnaval tersebut. Saya tidak tahu apakah ada perubahan antara novel dan isi film. Tetapi menurut saya demokrasi ala Bu Muslimah ini terlalu maju pada saat itu dan tanggung jawab itu diserahkan kepada seorang anak yang baru menginjak kelas lima SD.


Inilah satu dari sekian banyak adegan yang menggugah saya untuk berpikir. Kalau Bu Muslimah benar berlaku seperti dalam film itu mengajar, maka sebenarnya orang-orang Indonesia sudah maju dalam berpikir dan berdemokrasi pada tahun 1974 tetapi tidak diikuti oleh sikap pemimpin yang masih ingin menambah kekayaan dan kekuasaan seperti kata Pak Cik. Karena selama ini guru adalah monster yang bisa membuat cita-cita terkubur dalam-dalam lewat tekanan dan diskriminasi, sehingga sekolah bukan lagi produsen pemikir tetapi menjadi produsen kegagalan dan kejahatan.


Cara-cara yang diterapkan Bu Muslimah itu bagi saya terlalu maju, sehingga saya terkagum-kagum dengan sikap itu. Tetapi saya juga yakin kalau Bu Muslimah tidak mengajar seperti itu, dia mungkin sudah dilupakan oleh seorang Andreas Hirata dan murid-murid yang lain. Inilah yang saya sebut sebagai generasi cemerlang tetapi dikubur dalam-dalam oleh kekuasaan , melalui system feodal yang masih berlaku sampai saat ini lewat birokrasi Departemen Pendidikan. Semua diseragamkan dari pusat sampai ke pelosok sehingga kreatifitas seperti yang dimiliki oleh Bu Muslimah hangus dan akibatnya satu generasi juga hangus. Maka tidak herang kalau sekarang ini masyarakat Indonesia tidak mengalami kemajuan yang berarti bila dibandingkan dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia.


Orang-orang seperti Bu Muslimah jarang ada, ia muncul karena tidak terjangkau oleh tangan kekuasaan maka ia menjadi pahlawan bagi anak didiknya. Ketika kreatifitasnya mampu mengangkat moral anak-anak untuk bercita-cita. Anak-anak dididik bukan dihukum, diajar untuk mengerti bukan dihajar untuk mengerti. Maka sejauh apapun Andreas Hirata menempuh pendidikan ia lebih memilih mengangkat cerita sederhana dari sosok Bu Muslimah.


Bercita-citalah.., Banyaklah memberi, jangan banyak meminta inilah tagline film ini. Sederhana tetapi juga melahirkan perenungan mendalam, generasi yang muncul keatas bukan karena campur tangan pemerintah tetapi karena keteguhan dan hubungan yang sehat antara murid dan guru. Hubungan yang saling membangkitkan, ketika anak-anak tidak semangat masih ada Bu Muslimah yang sabar, ketika Bu Muslimah putus asa ditinggal Pak Cik, masih ada anak-anak yang punya hasrat untuk mimpi-mimpi mereka.


Saya hanya berpikir bila ada 1000 Bu Muslimah di tahun 1974 mungkin Indonesia sudah menjadi Negara adidaya yang setara dengan Amerika.


Film ini sebenarnya tanpa diperankan oleh orang-orang sehebat Cut Mimi sudah terpatri kedalam hati, tetapi dengan totalitas bintang Jakarta bisa nyambung dengan totalitas anak Bangka Belitung adalah ide Jenius si Sutradara. Hanya satu yang saya sesali setelah menonton film ini. Kenapa dari dulu saya tidak membeli novelnya…