Jumat, 09 Mei 2008

SIAPA YANG BAYAR KRISIS SUBPRIME DI AMERIKA SERIKAT?

Belum ada data resmi dilansir oleh pejabat berwenang di Amerika Serikat sampai saat ini berapa nilai pasti dari krisis yang diakibatkan oleh kredit macet properti menengah bawah alias KPR atau bahasa krenya subprime mortgage di Amerika Serikat. Tetapi banyak pengamat yang mengatakan krisis subprime menelan kerugian sampai US$ 500 miliar atau setara dengan Rp 4.600 triliun pada kurs Rp 9.200/US$. Kalau dibandingkan dengan PDB Indonesia 2007 harga berlaku sebesar Rp 3.957 triliun itu berarti setara dengan 1,2 tahun PDB Indonesia.

Krisis ekonomi di Amerika Serikat justru barbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi di China yang masih bertumbuh 10.5% tahun 2007. Akibatnya persaingan siapa yang kuat menjadi sangat mengemuka dalam konteks naiknya harga minyak bumi yang sampai menyentuh US$124 per barrel dengan produksi minyak dunia yang cenderung meningkat setiap tahun dan keengganan OPEC untuk meningkatkan produksi minyak mentah. Selama 45 tahun sejak 1960 rata-rata 43% produksi minyak dunia disumbangkan oleh OPEC dan sisanya disumbang oleh Non OPEC seperti Rusia, USA, China, Mexico, Canada, Norway.

OPEC Production and Crude Oil Prices 1973-Present

Empat tahun terakhir sejak tahun 2004 OPEC sengaja mengerem produksi minyaknya untuk memperbesar posisi tawar dengan Amerika dan Eropa yang cenderung menjadi raja perdagangan minyak yang bisa menentukan harga minyak dunia seenak perutnya. Produksi OPEC selama empat tahun terakhir berada dalam kisaran 30 – 32,5 juta barel per hari dengan produksi minyak dunia sekitar 80 juta barel per hari. Dengan pertumbuhan ekonomi China selama 8 tahun terakhir yang terus bertumbuh rata-rata 10% per tahun memicu pecahnya control harga minyak dunia yang selama ini dipegang USA, Eropa, OPEC kini ditambah lagi oleh China dan India. Dengan pengaruh yang tidak tanggung-tanggung untuk memenuhi konsumsi industrinya yang buas minyak.

10 Besar Produsen Minyak Mentah Dunia 2007






Negara


Produksi


Juta Barel/hari

Russia


9.7

Saudi Arabia


9

USA


7.4

Iran


3.9

Mexico


3.7

China


3.7

Canada


3.2

Norway


2.8

UEA


2.6

Venezuela


2.6





Sumber: http://images.google.com

Dengan penguasaan 65% perdagangan minyak dunia, Amerika Serikat menggunakan harga minyak sebagai senjata untuk bertarung dengan China ditengah kekacauan ekonomi Amerika akibat krisis properti dan defisit budget Amerika yang semakin melebar ditambah lagi pengeluaran yang luar biasa untuk membiayai perang di Irak dan Afganistan. Pertarungan terselebung ini telah menerbangkan harga minyak dunia ke posisi yang belum pernah terjadi dalam sejarah. Harga minyak mentah dunia untuk kontrak pengiriman Juni 2008 di New York Mercantile Exchange sudah mencapai US$126,2 per barel.

Posisi tarik menarik ini tidak kelihatan secara langsung, tapi dapat dipastikan Amerika Serikat - lah yang paling diuntungkan dengan harga minyak mentah yang selangit itu. Pertanyaanya sekarang adalah seberapa kuat Negara-negara emerging countries merespons harga minyak ini?. Bila harga minyak terus menggila sampai US$ 200 per barrel bisa dipastikan Negara-negara berkembanglah yang akan bangkrut duluan kemudian akan disusul dengan efek bola salju yang bisa melahirkan krisis ekonomi seperti tahun 1923 dan ujungnya adalah perang dunia ke III.

Kalau harga minyak bisa dikendalikan pada kisaran US$90 – US$ 125 per barrel selama satu tahun maka kehancuran ekonomi Amerika dapat direm dan konvensasinya Negara-negara berkembanglah yang membayar krisis subprime dan membiayai perang Amerika Serikat.

Negara-negara berkembang akan membayar harga minyak yang tinggi dan membeli material untuk menghidupi industrinya dengan harga yang sangat mahal. Tinggal menunggu waktu saja apakah ekonomi China atau Amerika yang bertahan lebih lama. Bila harga minyak tidak bisa dikendalikan lagi dan terbang bebas sampai US$ 200 per barel bisa dipastikan ekonomi dunia akan hancur lebih parah dari krisisis keuangan tahun 1998.

Tidak ada komentar: