Selasa, 21 April 2009

JUSUF KALLA YANG MALANG

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) merasa di atas angin, diapun menetapkan lima syarat untuk menjadi pendampingnya. Tidak secara nyata menolak Jusuf Kalla (JK), tetapi interpretasi masyarakat sangat jelas, SBY tidak akan berduet lagi dengan JK. Di internal Golkar sendiri beredar aspirasi, Akbar Tanjung (AT) akan diduetkan dengan SBY . Mantan seteru AT ini mungkin akan pulang kampung dan kembali ke dunia bisnis di mana ia memulai dan besar seperti sekarang ini.

JK adalah tipe pekerja keras, kadang-kadang karena sangat aktif dalam pengambilan keputusan ia seperti melewati wewenangnya sebagai wakil presiden, sehingga diawal-awal pemerintahan SBY-JK sudah beradar istilah “Matahari Kembar”. Bahkan untuk menandingi pengaruh JK, SBY kemudian membentuk Unit Kerja Presiden Untuk Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R) yang diketuai Marsillam Simanjuntak, melalui Keputusan Presiden No.17 tahun 2006. Pembentukan lembaga ini mendapat protes langsung dari JK dan sempat terjadi perang dingin anatara SBY – JK. Sejak itu UKP3R tidak terdengar gaungnya.

Politik pertarungan didalam lembaga kepresidenan antara presiden dan wakil presiden terus terjadi dalam pengambilan keputusan krusial, terutama dalam dua tahun pertama pemerintahan ini, seperti terjadinya dua kali resuffel kabinet yang menambah porsi Golkar di Kabinet dari komposisi awal pembentukan kabinet.

Setelah resufel kabinet kedua terjadi, pemerintahan SBY-JK mulai kelihatan kompak tetapi kembali mencuat suasana panas ketika seorang Senator Demokrat dari Amerika Serikat mengusulkan SBY sebagai penerima Nobel Perdamaian Dunia atas perdamaian di Aceh. JK merasa dia dan timnyalah yang berkeringat sejak dari inisiatif perdamaian hingga penggalangan dukungan internasional. Beruntung SBY membuat keputusan blunder dengan menolak grasi dari Tibo Cs dari hukuman mati. Nobel perdamaian akhirnya jatuh ketangan Yunus Muhammad.

Tapi seiring makin kompleksnya permasalahan Negara, dan makin kuatnya portfolio yang dipegang Golkar sebagai the ruling party, pemerintahan semakin stabil dengan bumbu-bumbu persaingan yang semakin menghilang. Mungkin strategi inilah yang dipakai oleh SBY untuk mengalahkan JK, ia mulai merangkul menteri-meteri baik dari Golkar maupun dari partai pendukung koalisi lainnya. Ia mulai bertindak sigap dalam setiap pengambilan keputusan, untuk mematahkan anggapan yang sudah keburu melekat dibenak masyarakat, bahwa SBY seorang peragu. Mungkin juga kalau presiden tidak hati-hati dalam pengambilan keputusan bisa saja kebijakan JK menjadi blunder bagi pemerintahannya.

Perlahan tapi pasti, pertarungan antara keduanya mulai meredup, terutama setelah menko dan menteri keuangan dipegang oleh professional non partisan. Tetapi peran JK dalam ekonomi sangat jelas dan dominan dibanding SBY.

Entah karena terlalu percaya diri atau terlalu konsentrasi dengan tugas kenegaraan, JK lupa melakukan konsolidasi kedalam partainya, ditambah banyak kader partainya yang kena masalah korupsi, calon-calon Golkar di Pilkada bertumbangan, sehingga sering muncul desakan agar ketua umum ditinjau ulang terutama dari kelompok Akbar Tanjung yang tidak puas dengan kinerja JK di partai, tetapi cemerlang di pemerintahan.

Tentu kita masih ingat pernyataan dari Syamsul Ma’arif (Buya Hamka), tehknokrat Muhammadiyah, “JK the Real President”, yang mendapat reaksi keras politisi Demokrat Anas Urbaningrum, dan tanggapan sinis dari AT, “JK senang disebuht the Real President”, menanggapi reaksi JK yang biasa-biasa saja dengan peryataan Buya itu.

Soal kenaikan BBM dua kali yang spektakuler JK juga pasang badan sementara SBY, seperti menjaga citra mewakilkan pengumuman kenaikan BBM ke Menteri ESDM dan menteri Keuangan, sementara di media JK membela habis-habisan keputusan kenaikan BBM itu, dan sebagai solusi amarah rakyat keluarlah istila, Bantuan Lansung Tunai (BLT) yang juga diusulkan oleh JK. Tetapi ketika harga BBM turun sampai tiga kali, SBY perkasa tampil di depan podium dengan wajah cerah penuh sumringah mengumumkannya.

Disinilah kekalahan JK, ketika keputusan yang diambil pahit, nama JK melakat di benak masyarakat sebagai tidak pro rakyat dan menjadi bumper di parlemen untuk menghalau oposisi, tetapi begitu hasil dari keputusan itu ternyata sangat berguna bagi Negara nama SBY menjadi pahlawan di benak Masyarakat. Soal pencitraan SBY adalah jagonya, ibarat seorang munafik, menjadi pahlawan diatas kerja keras orang lain.

Maka tidak heran ketika Lee Kuan Yu berkunjung ke istana Wakil Presiden, Lee mengatakan “sayang anda bukan Presiden” sebuah ungkapan yang bisa diterjemahkan bahwa JK punya kapasitas untuk menjadi Presiden.

Spontanitas JK, juga sangat efektif dalam mengatasi masalah, dalam bisnis dan ekonomi, politik melawan oposisi ia turun ke lapangan, membantah dan memberi perlawanan dengan bukti-bukti emperis di media . Dalam mengatasi kelangkaan Gas, konversi minyak tanah ke Gas, kasus LNG tangguh, hemat listrik, anjuran pemakaian sepatu buatan dalam negeri kepada jajaran pegawai negeri, sangat efektif untuk menanggapi dan mengkounter isu-isu yang hangat di masyarakat. JK bukan pencundang yang terus berada di istananya, tetapi ia keluar memberi solusi terhadap masalah yang dihadapi pemerintah. Tak jarang aktivitasnya dicurigai oleh lingkar dalam presiden SBY.

Tiga bulan sebelum pemilu legislative, kelihatan jelas bahwa JK masih ingin melanjutkan tugasnya sebagai Wakil presiden, sekalipun ada tokoh Golkar yang tidak menerima ide hanya sebagai Wapres saja, untuk partai sebesar Golkar. Golkar merasa bahwa keberhasilan pemerintah yang sebagian besar juga disumbangkan oleh kader Golkar, tapi diklaim habis-habisan sebagai prestasi SBY semata.

Klimaks pertarungan SBY – JK berawal dari pernyataan Achmad Mubarok salah satu petinggi Partai Demokrat, “bila Golkar hanya dapat 2,5% suara legislative, Partai Demokrat akan meninggalkan Golkar”. Pernyataan itu sontak mengubah peta politik dari semula JK masih ingin menjadi wakil presiden berubah haluan. Iklan lebih cepat lebih baik, prestasi perdamaian dan stabilitas Negara mulai diklaim Golkar, tapi sudah terlambat karena mereka kalah dengan kecepatan Partai Demokrat.

Rendahnya perolehan suara Golkar menjadi titik balik bagi Golkar untuk mengurungkan niat mencalonkan presiden sendiri, maka pilihan yang realistis adalah kembali lagi ke SBY. Tapi sayangnya SBY merasa menjadi pria yang ganteng sekali, sehingga ia bebas menentukan siapa calon “istrinya”. Disinilah nasib JK digantung sebagai balas demdam atas segala perbuatan JK selama ini. Sekalipun perbuatan itu untuk kebaikan bangsa dan Negara.

Seandainya JK terpental dan diganti oleh tokoh lain Golkar sebagai pasangan SBY, maka tamatlah riwayat politik JK, ia akan terbuang menjadi tokoh biasa yang tidak punya pengaruh lagi. Kecuali dalam bisnis tentunya. Tapi kalau SBY tidak berpasangan lagi dengan JK, kemungkinan besar kinerja SBY tidak secemerlang ketika ia berpasangan dengan JK. Karena memang sosok JK sangat penting peranannya dalam prestasi ekonomi pemerintahan SBY – JK saat ini. Sekalipun keberhasilan itu semu seperti pendapat ahli ekonomi, misalnya BLT dibiayai oleh utang luar negeri.

Bagi saya JK lebih baik tidak mengemis kepada SBY untuk menjadi wakil presiden, serahkan saja kepada tokoh lain di Golkar, dan kembali mengurus bisnis. Daripada berpasangan kembali dengan SBY tetapi dipasung kreatifitasnya di pemerintahan mendatang. Dan SBY mestinya harus rendah hati mengakui bahwa kepiawaian JK belum ada tandinganya di negeri ini. Jika SBY jujur, mestinya ia akan kembali menawarkan kepada JK posisi Wakil Presiden karena ia kompeten dan bertanggungjawab.

Senin, 13 April 2009

SIAPA YANG BISA MENGALAHKAN SBY?

Peningkatan perolehan suara legislatif Partai Demokrat (PD) yang sangat luar biasa dengan kenaikan 300% sudah diprediksi sebelumnya, berbagai survei yang diadakan sebelum pemilu 9 April berlangsung, PD sudah menempati urutan teratas dalam berbagai survei nasional.

Bahkan keretakan SBY – JK berawal dari kutipan hasil survei yang dikemukakan Ahmad Mubarok dengan nada setengah bercanda dengan menyebut, “ bila suara Golkar di pemilu legislatif hanya 2,5%, PD akan meninggalkan partai Golkar”.

Dalam perhitungan cepat yang dilakukan pasca pemilu 9 April 2009 lalu 4 lembaga survei terkemuka menampatkan PD diurutan teratas. Dan dalam penghitungan di pusat tabulasi KPU PD juga berada diurutan teratas dengan perolehan suara DPR diatas 20%.

Kemenangan PD ini sekaligus merefleksikan bahwa sosok SBY merupakan faktor kunci pendongkrak perolehan suara PD tersebut, mengingat di PD sendiri masih terbatas tokoh-tokoh yang punya jam terbang tinggi dalam politik bila dibandingkan misalnya dengan Golkar, PDIP dan PPP.

Sekalipun pelaksanaan pemilu legislatif yang menurut sebagian orang sangat amburadul, tidak professional, bahkan ada dugaan kemsemrawutan ini sengaja dipelihara untuk memenangkan partai tertentu.

Terlepas dari dugaan-dugaan kecurangan pemilu, penjajakan antar partai intensif dilakukan sejak hasil Quick Count diumumkan media massa. Jelas terlihat partai-partai mana yang akan merapat ke PD dan partai-partai mana yang akan merapat ke PDIP. Maka dugaan berbagai kalangan jauh sebelum pemilu berlansung bahwa akan ada pertarungan babak kedua antara Megawati dan SBY makin mendekati kenyataan.

Hingga saat ini hampir pasti ada 2 blok yang sudah intensif melakukan penjajakan, blok pertama yaitu PD (20.34%) dengan delapan mitra koalisinya yakni: Golkar (14.85%) , PKS (7.82%), PAN (6.07%), PPP (5.29%), PKB (5.20%), PBB (1.65%), PKNU (1.37%), kecuali PKS yang menebar ancaman akan keluar dari koalisi bila SBY – JK dipasangkan kembali dalam Pilpres 2009 mendatang. Total gabungan suara kedelapan partai ini adalah sekitar 63% artinya hanya ada sisa 37% yang akan menjadi oposisi, kecuali PKS benar-benar keluar dari koalisi ini maka komposisi calon pemerintah dengan calon oposisi menjadi 55:45. Tetapi bila kedelapan partai ini sepakat membentuk koalisi bersama maka hampir dapat dipastikan hanya akan ada dua pasang dalam pilpres Juli mendatang.

Blok kedua adalah PDIP (14.07%) dengan dua mitra utamanya, Gerindra (4.20%) dan Hanura (3.49%) dengan total gabungan suara 21,76%. Pertarungan kedua blok ini sekaligus menutup peluang pasangan ketiga dan keempat dalam pilpres yang akan datang, bila benar-benar terwujud.

Dari blok pertama sudah pasti akan mencalonkan SBY – dan hampir pasti akan diduetkan kembali dengan JK. Sedangkan dari blok kedua ada ego besar dari leader oposisi yaitu PDIP. PDIP sudah pasti akan menawarkan posisi presiden, dan wakil presiden dari mitra koalisinya bisa saja Prabowo atau mungkin juga Wiranto. Bila skenario ini terjadi sekaligus juga menutup peluang Sultan Hamengkubuwono X menjadi cawapres dari Megawati, ini juga bila skenario ini benar-benar terwujud.

Tetapi koalisi 2 blok ini bisa saja tidak berjalan mulus, dan akan melahirkan minimal satu blok lagi atau maksimal 2 blok. Sebagaimana disebutkan di atas gabungan 2 blok besar diatas sudah mencapai 85% suara di DPR. Artinya masih ada 15% suara yang mengambang, tarik menarik antara kedua blok besar inilah yang nantinya bisa menghasilkan satu atau 2 blok baru.

Faktor pertama, PKS bisa keluar dari koalisi PD karena tidak puas dengan fortfolio 2 atau 3 menteri yang ditawarkan PD kepada PKS. Faktor kedua bisa saja grass root kedua partai Gerindra dan Hanura tidak menghendaki Prabowo dan Wiranto menjadi wakil presiden dari Megawati. Misalnya bila Prabowo bisa mempengaruhi Hanura dan menawarkan wakil presiden misalnya ke Tifatul Sembiring, atau kepada Rizal Ramli otomatis akan muncul satu blok baru lagi. Demikian halnya juga bila Golkar merasa bahwa berkoalisi dengan PD akan menyuramkan masa depan Partai Golkar di pemilu 2014, maka bisa saja akan muncul satu blok lagi. Maka suasana pilpres Juli mendatang akan semakin menarik karena akan ada 4 pasangan yang akan berlaga. Sekaligus membuka peluang Pilpres berlansung dalam dua putaran.

Tetapi dengan tingkat popularitas SBY saat ini yang menempati peringkat teratas, partai seperti Golkar, PAN, PKB, PPP, PKS, PBB, PKNU, akan lebih baik bergabung dengan rombongan calon pemerintah dibandingkan bergabung dengan calon oposisi yang hanya berada ditempat kedua. Karena oposisi sejati hanya mungkin disandang oleh PDIP.

Maka kemungkinan ter - akurat dari berbagai skenario di atas adalah pertarungan antara blok PDIP dan blok PD. Dan kalau pertarungan ini terjadi tanpa pasangan ketiga, dapat dipastikan pemenangnya adalah SBY, bila lawan tandingnya adalah pasangan Megawati – Prabowo, atau Megawati – Wiranto. Akan tetapi bila hal ini terjadi akan menghemat biaya pemilu, karena kemungkinan pemilu hanya satu putaran saja.

Untuk membendung kekuatan SBY ini maka harus ada minimal 3 pasangan capres/cawapres. PDIP harus menempatkan dua kadernya di dua pasangan yang berbeda sama seperti skenario Hamzah Haz – Agum Gumelar. Misalnya PDIP harus mampu menyakinkan partai diluar blok PD untuk sepakat mencalonkan 2 pasangan capres tetapi merupakan satu kesatuan. Kombinasi pertama adalah Megawati – Wiranto, atau Megawati – Sultan. Kombinasi kedua adalah Prabowo – Puan Maharani, atau Sultan – Puan Maharani. Tujuan skenario ini memecah suara sehingga ada kemungkinan pilpres berlangsung dalam dua putaran. Jadi siapapun yang lolos keputaran kedua otomatis akan mendapat dukungan dari yang kalah.

Skenario ketiga Megawati sama sekali tidak ikut dalam bursa pilpres 2009, tetapi menempatkan Puan Maharani sebagai wakil presiden dari calon presiden yang disepakati bersama dengan mitra koalisi apakah Prabowo atau Sultan. Skenario ini mempunyai nilai jual yang luar biasa dibandingkan dengan dua skenario di atas. Dan bila ini terjadi, pasangan ini akan mendapat iklan gratis dari media massa, dan berpotensi besar mengalahkan pasangan SBY.

Skenario ini sekaligus menyempurnakan strategi McCain – Sarah Palin yang sekarang sedang giat dibicarakan untuk menduetkan Megawati – Prabowo. Kalau pasangan Mega – Prabowo dipaksakan, maka nasib pasangan ini akan berakhir seperti MCcain – Sarah Palin.

Intinya bila ingin mengalahkan SBY, jangan menduelkan kembali Mega dengan SBY, harus ada calon alternatif yang bisa diblowup media massa secara massif. Maka bila skenario ini tidak tercapai lebih baik Prabowo membangun koalisi dengan PKS, dengan kombinasi pasangan Prabowo – Hidayat Nurwahid atau Prabowo – Tifatul Sembiring. Karena saat ini faktor Prabowo mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan calon-calon lain di luar SBY.

Catatan:

Perolehan suara partai di atas diambil dari hasil Quick Coun Lingkar Survei Nasional (LSI)