Jumat, 18 April 2008

Demokrasi Indonesia, Demokrasi Paling Sehat Di Dunia

Indonesia ibarat lapangan luas yang masyarakatnya terus bertanding memperebutkan pemimpin klasemen. Dengan 33 Propinsi 349 Kabupaten dan 91 Kota Madya, dan mungkin masih akan terus bertambah maka setiap tahun rata-rata aka nada 77 pemilu di Indonesia ditambah satu pemilihan DPR dan Presiden.

Awalnya saya merasa prihatin dengan perkembangan Demokrasi ini, kebablasan menurut saya, yang kebetulan saya masih turut serta dalam rombongan mahasiswa pada tahun 1998/1999 melakukan demonstrasi sekalipun hanya ikut dari belakang tetapi terpatri spirit bahwa Indonesia harus menerapkan sistem Demokrasi kalau ingin berkembang dan menjadi Negara yang maju.

Setelah tamat dari kuliah, bekerja dan berada di jantung Negara ini. Saya secara tidak sengaja semakin hari semakin berminat dengan pemilihan langsung yang tidak pernah lepas wajah media kita. Dimulai dengan Pemilihan Lansung pertama tahun 2004, Legislatif 1 kali dan 2 kali Pemilu Presiden (maksud saya dua putaran). Dan kemudian disusul dengan Pemilihan Kepala Dearah pertama pada 1 Juni 2005 di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Pada awalnya banyak masalah setiap kali pemilu, ada kerusuhan karena salah satu calon tidak menerima kekalahan, tetapi saya melihat bahwa semakin sering pemilu diadakan Demokrasi kita semain mengarah ke kematangan politik setiap anak bangsa dan elit. Kita melihat pemilu Banten, Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Maluku, Gorontalo semakin hari semakin memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan.

Kita melihat ada koalisi antar partai, menjegal calon terntentu disatu daerah tetapi di daerah lain berkoalisi mendukung satu calon tertentu, ada yang berani berdiri sendiri, ada yang mencalonkan diri melanggar ketetapan partai dan menang. Partai pun kadang-kadang gigit jari karena ketika pemilu legislatif 2004 yang lalu menang disana tetapi ketika mencalonkan kepala daerah justru kalah. Maka ada pendapat yang mengatakan kemenangan seorang kepala daerah tidak lagi semata ditentukan oleh Partai tetapi pigur individu sicalon. Partai hanyalah pemenuh syarat administrasi saja. Tetapi pandangan itu saya kira tidak bisa dibenarkan. Partai tetap memerankan peranan penting.

Masyarakat kita semakin dewasa dan bebas menentukan siapa yang menurutnya layak jadi pemimpinnya tanpa terkungkung oleh kehendak partai. Partai boleh sama tapi calon boleh beda. Masyarakat kita semakin kritis dalam memilih pemimpin. Tidak hanya itu, KPU Nasional dan Daerah setiap kali semakin mematangkan keahlianya sebagai lembaga penyelenggara pemilu dengan perbaikan-perbaikan kesalahan di setiap pemilu-pemilu. Maka tidak heran dalam Pemilu 2009 kita yakin bahwa KPU sudah lebih berpengalaman karena setiap tahunnya mengorganisir minimal 60 pemilu pertahun disetiap daerah.

Lembaga survey kita juga dilatih menjadi peramal yang baik, sampai saat ini hitungan quick count selalau terbukti benar dengan hasil resmi dari KPU. Belum ada tebakan quick count yang melenceng. Partai dan politikus besar juga semakin mengesampingkan ego. Karena kerap kali calon dari partai kecil justru memenangkan pertarungan di pilkada.

Coba tengok betapa partai-partai besar seperti Golkar, PDIP tidak lagi egoistis dan tidak lagi memonopoli kemengan.

Partai-partai besar semakin rajin melakukan konsolidasi, belajar strategi dari kemenangan dan kekalahan di daerah, kalau tidak meraka akan ditinggalkan pemilihnya.

Kita juga melihat peran PKS (Partai Keadilan Sejahtera) yang menurut saya sebagi pendobrak status quo yang lahir dari proses reformasi tetapi kerap menjadi panutan yang bisa diandalkan dalam setiap tindak tanduknya. Dengan semboyan bersih dan berbasis eksklusif Islam PKS bisa dikatakan sebagai salah satu partai paling agresif tetapi santun dalam berdemokrasi yang ujung-ujungnya meraih simpati dari pemilih. Cara-cara PKS berpolitik menjadi tidak lajim bagai partai-partai besar yang cenderung terpusat, semua keputusan berada ditangan DPP, daerah harus mengikuti apa kemauan pusat.

PKS yang masih muda memaksa partai-partai besar untuk belajar berdemokrasi dengan caranya sendiri. Jadi tidak perlu saling menjegal, dengan proses demokrasi yang santun, ternyata masyarakat mau mengalihkan pilihannya kepada partai yang dianggapnya lebih baik.

Jadi bisa kita baca arah demokrasi kita akan semakin sehat kedepan. Kalau partai masih menerapkan sistem onemanshow bisa kita prediksi partai itu akan ditinggalkan oleh pemilihnya. Terutama seperti PKB dan PDIP yang masih berpusat pada satu orang atau figure individu. Maka mau tidak mau pemimpin partai mulai berpikir untuk melakukan regenerasi dan mulai menghilangkan egonya demi masa depan partai.

Partai-partai pun mulai belajar untuk membagi tugas dan kekuasan kalau tidak dia akan kalah dalam pertarungan dengan partai lain.

Kita melihat pendapat PDIP misalnya yang mulai mengusulkan akan menduetkan Megawati dengan kalangan Muda, dan tantangan Megawati yang menyebut pemuda harus berani turut serta bertarung dalam Pilpres 2009 mendatang. Demikian Juga Golkar mulai mewacanakan pemimpin Muda.

Tanpa pilkada pendapat seperti ini mungkin hanya lahir dari para pengamat dan LSM, tetapi dengan pemilu-pemilu daerah, semua berubah. Ketua partai yang semula sangat berkuasa mulai berpikir membagi peran dan tugas dengan daerah, karena apa yang ditentukan oleh ketua partai dalam kenyataan di lapangan bisa kalah. Partai-partai mengubah strategi sedikit lebih berorientasi apa yang disukai masyarakat. Masyarakat benar-benar menjadi penguasa saat ini, suaranya semakin hari semakin penting.

Dan kalau keadaan yang sekarang dipelihara dengan baik, disertai dengan lahirnya partai yang komit pada perubahan seperti apa diperankan oleh PKS bisa kita ramalkan Demokrasi kita akan menjadi Demokrasi paling sehat di muka bumi ini.

Tidak ada komentar: