Senin, 28 Juli 2008

PERTARUNGAN TERAKHIR MEGAWATI

Perkembangan demokrasi di Indonesia tidak lepas dari peran Megawati dan pendukungnya, yang menjadi salah satu kekuatan utama yang menggulirkan isu demokrasi di Indonesia pada saat kekuasaan Soeharto masih berada dipuncak kejayaanya. Tahun 1996-1998 merupakan fase dimana kekuatan lain menyusul seperti mahasiswa, tokoh pro-demokrasi dan gerakan bawah tanah sampai kemudian elemen ini mendapat dukungan mayoritas masyarakat sehingga mampu menjungkalkan kekuasaan despot Soeharto.

Bergabung dengan PDI pada tahun 1987 dan menjadi anggota DPR, kekuasaan mulai mengkuatirkan eksistensinya lewat berbagai manuver yang memaksanya kehilangan hak sebagai Ketua Umum PDI lewat kongres Medan yang mengusung Suryadi menjadi ketua lewat campur tangan pemerintah yang sangat kentara. Konflit itu berujung pada peristiwa 27 Juli 1996 yang menelan banyak korban tetapi juga menjadi titik balik bagi Megawati, karena sejak peristiwa itu simpati masyarakat mengalir kepadanya dan berujung pada pembentukan PDIP pada tahun 1999.

Periode 1999 – 2009 inilah efektif bagi Megawati menjadi pemimpin partai yang bebas dari intimidasi pihak ketiga. Ia gagal menjadi presiden di gedung MPR sekalipun ia dan partainya memenangkan pemilu 1999. Lewat berbagai manuver, elit politik mengganjalnya sehingga hanya menjadi wakil presiden, kemudian naik kepuncak setelah DPR/MPR berhasil meng-impeach Gusdur tahun 2001. Sebuah pertobatan politik parlemen!.

Menjadi presiden selama kurang lebih 3 tahun sebenarnya banyak kemajuan yang ditorehkan oleh pemerintahanya, ia mewarisi keadaan ekonomi yang semrawut dan pelik, ditengah aggaran yang depisit dan pertumbuhan ekonomi stagnan, campur tangan IMF lewat LOI dan investor yang enggan melirik Indonesia sehabis dibantai berbagai kerusuhan berdarah, ledakan bom dan perang antar suku. Megawati perlahan-lahan bisa membenahi benang kusut itu, terutama dalam bidang ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang diwarisi Mega tahun 2001 dari Gusdur hanya 3,3% dan dimasa akhir jabatanya pertumbuhan ekonomi mencapai 5.13% dengan rata-rata pertumbuhan selama kurang lebih 4 tahun mencapai 4% per tahun.

Tetapi kebijakan ekonomi-nya cenderung liberal. Terbukti dari penjualan Indosat ke Temasek, penjualan BCA ke Farallon, BII dan Bank Lippo ke BUMN Malaysia dan Bank Permata ke Stanchart, perkebunan kelapa sawit berpindah tangan ke Malaysia. Hal inilah yang digunakan oleh lawan politik Mega untuk mendiskreditkan – nya pada kampaye pemilu 2004. Ia yang dijuluki sebagai pemimpin wong cilik pada pemilu 1999 diubah menjadi penjual asset Negara.

Pertumbuhan ekonomi yang stabil, peningkatan harga saham-saham, inflasi yang terjaga di satu digit, arus investasi yang mulai masuk, tidak disertai dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Jadi pertumbuhan itu tidak menyentuh sector riil kata pengamat ekonomi, pers secara perlahan-lahan mulai mengupas kritis setiap kebijakanya disertai dengan banyaknya anggota partainya di DPRD yang harus berurusan dengan pengadilan karena tuduhan korupsi.

Kelebihan Megawati

Pertama Konsisten, apa yang sudah diputuskannya tidak akan diubahnya, misalnya isu resufle menggema diakhir masa jabatanya tetapi ia terus bertahan, ia menghormati koalisi partai yang terbentuk pasca tergulingnya Gusdur dari pemerintahan. Pembangunan Tol Jakarta – Bandung “dipaksa” selesai sebelum pemilu 2004. Sekarang orang bisa lalu lalang Jakarta – Bandung hanya dalam hitungan 2,4 jam yang sebelumnya menempuh waktu 3 sampai empat jam. Keputusan menjual Indosat dan asset strategis lainya misalnya juga konsisten demi mengubah citra Indonesia dimata Investor yang berada pada titik yang paling rendah. Pasca kebijakan itu IHSG misalnya bisa menembus angka 1.800 pada akhir masa jabatannya dan keputusan itu berpengaruh terhadap keadaan bursa sampai pemerintahan SBY – JK yang terus mengukir rekor-rekor baru.

Jadi masa pemerintahan Megawati sekaligus menunjukkan kepada lawan politiknya bahwa dia tidak sekedar ibu rumah tangga, juga bukan sekedar mengandalkan kharisma Soekarno yang melekat dalam dirinya. Ia bisa memimpin bangsa yang penuh dengan warisan permasalahan, setidaknya ia bisa menata ekonomi dan mewariskannya kepada pemimpin berikutnya dengan keadaan stabil.

Kedua, dia seorang pemimpin yang taat pada aturan main yang disepakati bersama, seperti pernah ditulis oleh Budiarto Shambazy, tipe-tipe pemimpin di Indonesia senang mengulur-ulur kekuasaan di tangannya dengan berbagai cara kecuali Megawati. Ia legowo menerima kekalahan dalam pertarungan yang fair dan kemudian berkompetisi lagi dengan mengikuti aturan yang sudah disepakati bersama. Ini sudah terbukti sejak zaman orde baru, dikala setiap orang pesimis dengan pengadilan ia dan pedukungnya masih memilih jalur pengadilan untuk menuntut hak-haknya yang dilanggar kekuasaan. Mega konsisten bahwa lembaga hukum harus diberi kepercayaan walaupun ia dikooptasi oleh kekuasaan.

Ketiga, ketika Mega kalah dalam pemilu pilpres 2004, ia memilih menjadi oposan yang fair tidak membusuki pemerintahan tetapi mengkritik secara proporsional. Sejak itu Mega aktif membangun kekuatan, mengkonsolidasi mesin partai dari pusat ke daerah, mengamati dengan detail semua kebijakan pemerintah. Mengkritiknya sesekali dan memilih untuk bertarung merebut kursi eksekutif lewat pilkada di propinsi, kotamadya dan kabupaten ketimbang ikut dalam kabinet. Hasilnya, menggembirakan dari 27 pilkada tingkat propinsi per Juli 2008, PDIP menang 14 kali. Seperti pernah diucapkan Megawati setelah pilkada Bali dimenangkan oleh calon dari PDIP, “dengan hasil pilkada yang dicapai saat ini PDIP semakin percaya diri menjelang Pemilu legislative dan presiden tahun 2009”.

Beberapa kebijakan SBY – JK yang cukup mendapat perlawanan dari PDIP adalah masalah Aceh, Impor Beras, kebijakan luar negeri Indonesia yang abstain terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB terhadap pengayaan nuklir Iran, kenaikan BBM tahun 2005 & 2008.

Selain itu Megawati sendiri aktif mengkritisi kebijakan SBY – JK, seperti pernyataan “Tebar Pesona”, “Tari Poco”, “Bercita-cita setinggi gunung, tetapi pencapaian setinggi bukit”. Kritik ini menjadi headlines di media massa dan populer menjadi wacana umum, sekaligus mendapat tanggapan beragam baik dari pemerintah maupun dari partai Demokrat yang mengusung SBY menjadi presiden.

Ada beberapa ciri khas yang gampang diingat dari figur seorang Megawati, Ia jarang mengeluarkan pendapat, terkesan kurang cakap dalam berbicara, tetapi Ia punya kharisma, punya pengaruh dan seorang yang kata-katanya dipegang oleh pengikutnya, dijadikan sebagai panutan dan dipuja, terutama masyarakat kalangan bawah. Bagi kelompok menengah atas Megawati adalah seorang yang tidak capabel untuk memimpin, dipersepsikan tidak pintar.

Ini tercermin dari setiap komentar pembaca di www.kompas.com dan www.detik.com setiap ada berita mengenai Megawati, 7 dari 10 pembaca memberi komentar negatif. Ini mengindikasikan bahwa kelompok masyarakat yang melek internet adalah kalangan pekerja kantoran dan kelompok masyarakat yang berpendidikan. Jadi basis pendukung Mega adalah kelompok menengah bawah. Tetapi kelompok ini populasinya adalah yang terbesar di Negara ini. Kalau kelompok ini bisa direbut melalui pencitraan sebagai pemimpin pro rakyat bisa saja Megawati akan kembali menjadi presiden pada tahun 2009.

Sikap konsisten, nasionalis, kharisma pemersatu menjadikan Mega seperti dewa bagi PDIP dan pendukungnya. Maka keputusan rapimnas PDIP di Semarang yang mencalonkan Mega sebagai calon Presiden PDIP 2009 bukanlah keputusan elit PDIP semata tetapi tuntutan dari bawah. Kader-kader PDIP menganggap bahwa seharusnya Mega tidak kalah dalam pilpres 2004, dan wajar kalau semua kader PDIP berjibaku untuk mengusungnya kembali sekalipun dengan resiko kekalahan. Ini seperti persembahan terakhir bagi seorang dewa yang sedang bertarung untuk merebut kekuasaan, maka harus didukung habis-habisan dan kalaupun harus kalah setidaknya mereka kalah secara terhormat.

Dalam politik Megawati itu seperti senjata, suatu ketika kehabisan peluru., tetapi setelah diisi (baca: reload) senjata akan kembali kebentuk awalnya, menerjang sasarannya!

Ia akan bertarung untuk yang terakhir kalinya pada pilpres 2009, cukup sulit baginya dan pendukungnya tetapi juga bukan pekerjaan mustahil bagi “banteng-banteng” untuk mendudukkan ibunya ke tahta kekuasaan. Ia sudah terbukti tidak kalah dengan orang yang sangat pintar menurut persepsi pemilih untuk SBY. Tetapi lawan politiknya juga tidak tidur, berbagai manuver sudah disiapkan mulai dari isu pemimpin muda, permasalahan gender, dan posisi SBY yang masih sangat populer di mata rakyat. Di Legislatif mungkin PDIP lebih mudah memenangkan pemilu tetapi dalam Pilpres harus dihitung lagi.

Tidak ada komentar: