Senin, 07 Januari 2008

DID GOD CREATE MEASURE ?

Dunia mengukur dengan yang kelihatan dan satuan yang dipakai untuk mengukur adalah materi yang dimilikinya. Emas dinilai dengan karat, air diukur dengan liter dan lain-lain. Hidup diukur dengan berbagai kadar. Tergantung siapa yang membuat pengukuran dan untuk apa?

Lama tidak bertemu bisa diukur dengan kata rindu, bisa juga diukur dengan pelukan, tetesan air mata dan bermacam ukuran yang melimpah di bumi kita ini. Hidup ini penuh dengan ukuran, tergantung siapa dan untuk apa.

Coba tengok hari ini, aku bertanya kepada temanku berapa usia ibunya yang meninggal hari ini pada jam 11 WIB kurang atau lebih. Ia menjawab 79 tahun, lalu aku berkata: “oh dia sudah diberkati Tuhan”. Tidak ada jawaban kecuali rasa menyesal bahwa selama ini, ia hanya sepintas bertanya kalau sang mami sakit, tidak ada perhatian mendalam, kecuali nonton bareng ketika pulang dari kerja larut malam, jam 8 atau 9 kadang bisa jam 10. Inilah penyesalan ketika orang yang setiap hari kita lihat, kita ajak bicara, kita bentak, atau kita cuekin, tiba-tiba pergi untuk selamanya. Memang setiap orang dewasa punya dunia sendiri tidak seperti ketika saat anak-anak, dunia kita adalah kedua orang tua. Ketika mereka meninggal muda, maka dunia kita seolah sudah hancur.

Dengan 49 tahun bersama, termasuk 17 tahun disayang-sayang mami, dijaga agar tidak jatuh, dibimbing agar tidak salah arah, diberi makan agar tidak kelaparan dan sakit-sakitan. Semua berjalan tanpa bayaran, tidak seperti kita memesan satu porsi makanan di restoran, semua disiapkan pelayan, termasuk lap tangan dan membersihkan piring ketika kita selesai makan. Tetapi diakhir hidangan datang selembar tagihan atas apa yang sudah kita lakukan. Tidak ada yang gratis kecuali hati dan perhatian Ibu. Ada pepatah mengatakan: Kasih Ibu Sepanjang Jalan. Masih belum tepat menggambarkan keadaan sebenarnya dari kasih Ibu. Ia abadi, tidak berubah, juga tanpa pamrih.

Salah satu penyesalan temanku dan kakak temanku yang serumah dengan ibunya adalah mereka merasa bersalah karena selama ini tidak tahu apa sakit sang mami yang sebenarnya sampai masuk rumah sakit dan kemudian mendadak meninggal. Ada perasaan bersalah yang tidak terukur, ukuran adalah penyesalan, air mata dan kelelahan karena menyesal.

Kematian adalah tutup buku, Tidak ada kata menyesal, mati sudah tidak mungkin hidup lagi, kecuali Yesus datang dan membangkitkanya lagi itu cerita lain dan sangat jarang terjadi. Apakah ukuran agar kepergian sang mami rela dilepas? Tidak cukupkah dengan memijat-mijat tangan sang mami ketika duduk bareng sambil bercanda dan menonton tv saat tubuh sudah lelah beraktifitas sepanjang hari? Atau tidak cukupkah pengorbanan seorang putri ditengah malam pergi mencari obat tanpa rasa takut dan kuatir? Apakah harus menyesal juga karena beliua meninggal dengan penyakit yang tidak diketahui orang kedua tadi?. Padahal usianya sudah mencapai 79 tahun melampau angka harapan hidup di Indonesia yang hanya 65 tahun.

Kataku kematian sekalipun di usia yang sudah renta selalu mendatangkan kesedihan, adikku bilang “butuh waktu untuk merelakan kepergian” seseorang yang kita cintai walaupun kematian adalah hal biasa bukan hal yang luar biasa .

Kelak disuatu hari adalah waktuku, waktu orang lain, tidak tahu kualitas apa yang terdapat dalam setiap kematian, adakah orang yang akan menangisi, menyesali atau mengucap syukur. Tapi kematian akan selalu datang tidak pernah terlewat dari seorangpun yang bernama mahluk hidup. Ia mati adalah wajib dan hidup juga wajib, maka ketika ada ketidakpuasan atas perilaku dan tindakan kita kepada orang tua yang melahirkan kita sehingga ketika ia pergi selalu ada rasa bersalah, sekali lagi aku katakan Kasih Ibu tidak pernah menuntut balas, bahkan ketika akan matipun ia malah mengkuatirkan hidup anak-anaknya agar hidup lebih baik.

Inilah ukuran hidup, “mati”. Selamat jalan kepada sang mami temanku yang beberapa kali menyapaku dengan lembut, terseyum tulus dan menawarkan makanan dengan ramah. Satu hal yang masih tergambar diotakku sampai saat ini ketika beliau tersenyum menyodorkan tangan renta tua itu menghapiri tanganku ketika pertama kali bertemu di suatu sore 3 atau 2 tahun silam, tidak kuingat dengan pasti. Kemudian bertemu beberapa kali tetap dengan kualitas keramahan dan senyum yang tak berubah.

Semoga Ibu naik Kesurga dan menatap dari sana dengan tertawa lebar karena anak-anak dan cucu yang Ibu tinggalkan memperoleh kebahagian di kemudian hari.

Tidak ada komentar: