Rabu, 30 Januari 2008

KRITIK PADA PAK HARTO DAN PENDUKUNGNYA

Rezim Jenderal Besar (Purn) H.M. Soharto (Pak Harto) sudah berakhir sejak Mei 1998, tetapi pamornya tetap saja tidak lekang, sampai diakhir hayatnya. Televisi rutin menayangkan laporan terkini sejak Pak Harto dirawat di Rumah Sakit Pertamina – 24 hari dirawat sampai kemudian meninggal dunia pada pukul 13.10 WIB tanggal 27 Januari 2008.


Hari-hari meninggalnya menjadi top news di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia, Eropa, Amerika dan Asia lainya breaking news televisi dan media cetak di dominasi oleh berita meninggalnya Pak Harto. Acara seluruh televisi di Indonesia sejak meninggal pada 27 Januari hingga dikubur pada 28 Januari diisi seputar meninggalnya dan biografinya selama 2 hari berturut-turut.

Disetiap jalan yang dilalui mobil pembawa jenajahnya dikerumini orang, bahkan acara pemakaman terlambat karena setiap orang ingin menyentuh mobil yang membawanya ke tempat peristrahatan terakhir di kompleks pemakaman keluarga di Astana Giribangun.

Itulah Soeharto, mantan penguasa orde baru yang bertahta selama 32 tahun, dengan jasa besar yang melekat padanya, seperti Bapak Pembangunan, tokoh yang paling disegani di ASEAN, mendapat penghargaan dari FAO dengan Swa Sembada berasnya. tokoh Supersemar, tokoh Serangan Umum di Jogjakarta, tokoh dibalik Pembebasan Irian Barat, Jenderal Besar.

Satu hari penuh pujian selalu datang kepada Pak Harto tidak hentinya, terutama dari mantan-mantan menterinya, dan masyarakat yang bernostalgia betapa hebatnya bangsa ini ketika dipimpin Pak Harto. Semua orang seolah berebut hadir yang pertama kali di Cendana menunggui jenajah Pak Harto, juga pada saat terbaring di Rumah Sakit, tokoh-tokoh bangsa ini berebutan membesuknya.

Bagi saya itu tidak masalah, jasa pak Harto banyak, seperti sudah disebutkan di atas tidak dapat dipungkiri, bahkan bagi saya dia layak jadi Pahlawan Perjuangan Bangsa. Tetapi juga harus diingat bahwa Pak Harto juga adalah tokoh yang paling bermasalah di dunia ini. Bapak pembangunan yang dialamatkan kepadanya juga tidak salah, tetapi harus diingat juga bahwa ketika Suharto turun tahta total utang luar negeri Indonesia mencapai US$ 150 miliar, kalau dirata-ratakan itu sama dengan US$ 5 miliar setiap tahun dalam 30 tahun masa efektif pemerintahanya. Jadi pembangunan sepanjang 30 tahun tidak lepas dari hutang luar negeri yang turun temurun hingga anak cucu kita harus ikut menanggungnya. Pertumbuhan ekonomi semata-mata hanya buble economy bukan karena peningkatan kapasitas produksi nasional, tetapi pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi.

Stabilitas keamanan selama 32 tahun juga harus dibayar mahal dengan penghilangan nyawa, penembakan misterius (petrus), pemberangusan pers, penjeblosan lawan politik ke penjara , pencaplokan Timor- Timor, operasi intelijen di Aceh dan Irian Jaya yang memakan banyak korban. Bisa dikatakan bahwa stabilitas itu semu (Ersatz), baik karena takut disebut subversi dan kemudian dijebloskan ke penjara atau karena tindakan represi yang dilakukan oleh pihak keamanan dan preman-preman yang didukung oleh kekuasaan.

Korupsi, Kolusi, Nepotisme juga merebak di masa pemerintahan Soeharto hanya tidak bisa disentuh karena kekuasaan ekonmi, pers, hukum bisa dikendalikan. Sistem ekonomi dikuasai oleh segelintir orang, sehingga susah membuktikan adanya korupsi. Aktivitas ekonomi dikelola sebagian besar oleh kroni-kroni pak Harto. Grup-grup usaha yang besar selalu ada kaitannya dengan pak Harto dan keluarganya. Aditnya, Apac – Bhakti Karya, Arha, Arseto, Bimantara, Citra Agratama, Datam, Dwi Golden Graha, Dwi Investindo, Era Persada, Hanurata, Humpuss, Jababeka, Kalimanis, Maharani, Mercu Buana, Salim, Subentra, Swabara, Tirtamas Majutama, Tunas Wiraga, Wijaya Kusama Jaya, grup-grup ini baik secara langsung dan tidak langsung berhubungan dengan Pak Harto dan keluarganya.

Sistem Politik dibiarkan tidak berkembang selama 32 tahun, setiap Sidang Umum MPR sudah pasti siapa Presiden, lembaga Negara seperti MPR, DPR, DPA, MA, BPK hanya simbol belaka, Presiden adalah penguasa tunggal, hal ini bisa dilihat dari calon anggota lembaga tinggi Negara dan tertinggi Negara bisa dicoret oleh Presiden. Hanya ada 2 partai sedangankan Golkar tidak boleh disebut partai, ia adalah golongan karya yang sudah dipastikan kemenagannya setiap pemilu. Pegawai negeri yang membangkang tidak memilih golkar akan dituduh subversi. Pers salah satu pilar demokrasi diatur, yang tidak bisa diatur diberangus sehingga berita yang muncul selalu berita baik. Tidak boleh ada demonstrasi.

Krisis ekonomi yang terjadi hingga saat ini tidak lepas dari warisan rezim Pak Harto, sehingga sekalipun sudah merdeka 63 tahun baru bisa belajar demokrasi 10 tahun, baru bisa menikmati kebebasan pers, baru bisa mengemukakan pendapat secara bebas. Bangsa ini kehilangan pijakan, dan seolah-olah harus belajar dari nol berdemokrasi, membangun perekonomian, menciptakan stabilitas keamanan, HAM. Ini semua tidak lepas dari warisan rezim Pak Harto.

Kalaupun sampai saat ini, perekonomian kita belum bisa diandalkan, pemilu berdarah-darah, olahraga kita terpuruk, citra bangsa semakin menurun tetapi sistem demokrasi kita sedang mengarah ke perbaikan dan sehingga diharapkan akan melahirkan landasan yang kuat. Kebebesan pers kita sudah berjalan mendekati matang, sistem ekonomi menyebar, desentralisasi sudah membuahkan hasil, sekalipun disana-sini masih melahirkan kontroversi. Presiden hanya boleh menjabat dua periode sehingga kelak tidak ada lagi kultus-kultusan. Kalau sistem sekarang dijaga dan disempurnakan kekurangannya secara alami, 10 atau 20 tahun kedepan bangsa ini bisa menjadi bangsa besar.

Tetapi warisan pak Harto, seperti Posyandu, Swa Sembada, Keluarga Berencana, pertumbuhan ekonomi yang stabil, rancangan pembangunan menengah - panjang layak diteruskan. Jadi sekalipun Pak Harto orang besar dan mempunyai jasa besar atas keberadaan negeri ini, tetapi ia juga tidak luput dari kesalahan-kesalahan yang menyengsarakan bangsa ini lewat kebijakan-kebijakannya.

Selamat jalan pak Harto, semoga bangsa ini mau bersabar untuk belajar memperbaiki dirinya tidak hanya bernostalgia dengan rezim Soeharto yang dianggap lebih makmur dari saat ini tetapi landasannya rapuh, stabilitasnya semu (ersatz)!!.

Tidak ada komentar: